PENJARA, sehebat apa pun program pemasyarakatan yang ada di dalamnya, tetap bukan merupakan lingkungan yang wajar.
Tidak ada manusia waras yang ingin bermukim, apalagi berlama-lama tinggal di kawasan yang penuh dengan serba aneka restriksi.
Dengan dasar pemikiran semacam itu, masuk akal jika terdakwa pelaku kejahatan yang sekaligus menyandang kecacatan tubuh diberikan peringanan hukuman akibat keterbatasan lahiriahnya itu.
Peringanan sedemikian rupa diletakkan pada pertimbangan bahwa penjara sebagai lingkungan yang berat akan semakin memberatkan bagi pelaku pidana yang cacat.
Dengan kata lain, peringanan merupakan manifestasi empati hakim atas kondisi terdakwa.
Namun, bagaimana jika kecacatan itu justru digunakan sebagai instrumen kejahatan oleh si pemilik tubuh?
Baca juga:
Di samping cara-cara kekerasan yang memunculkan perasaan takut pada diri target kejahatan (calon korban), pelaku pada sekian jenis tindak pidana juga dapat menerapkan modus grooming.
Modus ini diperagakan pelaku dengan menampilkan dirinya seolah-olah sebagai sosok yang baik, peduli, menawarkan pertemanan, memberikan kehangatan, dan pesona-pesona lainnya.
Ketika pelaku memakai modus ini, alih-alih menjauhi orang yang akan menjahatinya, calon korban justru mendekati pelaku.
Calon korban tidak mengalami perasaan negatif apa pun terhadap pelaku. Sebaliknya, korban bisa jatuh simpati, bahkan menaruh kepercayaan kepada orang yang sesungguhnya akan memviktimisasinya.
Korban terkelabui oleh serigala berbulu domba, iblis beraut malaikat yang ada di hadapannya.
Pada awalnya, si penyandang kecacatan mengisap perasaan belas kasih lawan bicaranya. Setelah kepercayaan terbangun, si penyandang kecacatan mengkhianatinya sebagai orang yang justru sekarang akan ia eksploitasi.
Tergambar sudah; kondisi kecacatan tubuh secara ironis bisa disalahmanfaatkan oleh penyandangnya untuk maksud-maksud manipulatif.
Baca juga:
Ia tidak mengambil jalan kebaikan dengan melakukan kegiatan-kegiatan konstruktif lewat cara-cara berbeda, melainkan memfungsikan kondisi badaniahnya sebagai sumber daya grooming.
Pada titik itu, sebutan ‘penyandang disabilitas’ bagi orang cacat sesungguhnya tidak lagi tepat. Disabilitas berasal dari dis-abilitas (disability). Terma ini memberikan gambaran bahwa kecacatan adalah identik dengan serba tuna: tanpa kemampuan, tanpa daya, tanpa kecakapan.