Dalam konteks serangan udara, Fauzan melanjutkan, yang terjadi bukan hanya "pesawat versus pesawat" melainkan "ekosistem militer melawan ekosistem militer."
Fauzan menganalogikan perang seperti pertandingan sepakbola yang melibatkan banyak orang saling bertarung untuk meraih kemenangan—bukan penyerang melawan kiper, atau gelandang berhadapan dengan gelandang.
"Bahkan enggak cuma 11 pemain lawan 11 pemain, tapi ekosistem di tim itu sendiri. Jadi, ada pelatih, fasilitasi, sampai gaji," ujarnya.
"Jadi dalam perang India-Pakistan itu tidak bisa dilihat hanya dari pesawat versus pesawat, tapi bagaimana ekosistem militer India dan Pakistan," sambungnya.
Di setiap perang, Fauzan menjelaskan, tidak ada alutsista yang tahan hancur, meski di beberapa kasus disebabkan spesifikasi yang—ternyata—tidak sesuai yang dijanjikan pabrik pembuatnya.
Baca juga: UEA Borong 80 Jet Tempur Rafale Perancis, Nilai Kontraknya Lampaui Anggaran Pertahanan RI
Ketika bicara konteks pesawat tempur, banyak preseden pesawat modern sekaligus canggih, seperti F-16, F-15, dan F-18, pernah jatuh ditembak kelompok yang lebih inferior.
Dalam pertimbangan untuk pembelian alutsista, ada berbagai faktor yang mengikutinya. Di luar performa dan spesifikasi, kesepakatan pembelian alutsista antarnegara juga kerap dibarengi kalkulasi geopolitik, alih teknologi, serta peluang kerja sama nonpertahanan.
"Kenapa Perancis? Ada keinginan pemerintah untuk tidak bergantung dengan pesawat buatan blok Barat, terutama AS," terang Fauzan.
"Walaupun Perancis bagian dari NATO dan sekutu AS, tapi dalam sejarahnya Perancis itu bisa dibilang sebagai poros tersendiri karena mereka punya doktrin strategis otonomi—dalam beberapa kasus tanpa keterlibatan AS."
Perancis, tambah Fauzan, juga negara kekuatan nuklir dan anggota tetap Dewan Keamanan PBB.
Ketika Indonesia membeli puluhan Rafale, kesepakatan ini tidak sekadar berhenti di lingkup pertahanan.
Baca juga: Militer Mesir Borong 30 Unit Jet Rafale dari Perancis untuk Keamanan Nasional
Indonesia dan Perancis, sebagai contoh, turut meneken perjanjian pembuatan amunisi kaliber untuk persenjataan darat yang diwakili PT Pindad dan Nexter Munition. Lalu, kedua negara juga setuju bekerja sama di bidang telekomunikasi lewat PT Len Industri dan Thales Group.
Industri dan sektor pertahanan menjadi salah satu ruang yang digarap serius oleh pemerintah sejak Jokowi menjabat dan kini diteruskan Prabowo. Indikatornya adalah postur belanja anggaran yang cenderung meningkat sejak 2020—kecuali dari 2020 ke 2021—demi, satu di antara lain hal, memodernisasi alutsista.
Pada APBN 2025, Kementerian Pertahanan memperoleh pagu sebesar Rp 139,2 triliun, kena pangkas Rp 26,9 triliun dari total anggaran yang disetujui sebelumnya, Rp 166,1 triliun.
Publik tak sekali mempertanyakan anggaran jumbo di sektor pertahanan, dan mengkritik tatkala kebijakan yang dipandang tak ideal dicetuskan Kementerian Pertahanan, seperti rencana pembelian 12 pesawat bekas Mirage milik Qatar.
Fauzan mengatakan kritik publik "sangat wajar" mengenai anggaran pertahanan, termasuk pembelian alutsista. Ia menyebut pangkal masalahnya ada di "transparansi dan komunikasi pemerintah yang kurang baik."
"Pembelian alutsista sering disampaikan secara normatif. Kita sedang membeli pesawat ini, harganya sekian, datangnya pada waktu sekian, dan spesifikasinya sekian," ucap Fauzan yang kini tengah merampungkan studi keamanan global di Johns Hopkins University.
Baca juga: 5 Jet Tempur Rafale Sudah Datang, India Gertak Musuh-musuhnya
Semestinya, Fauzan menambahkan, pemerintah menyediakan paparan informasi yang lengkap perihal alutsista, mengingat anggaran yang dipakai tidaklah sedikit.
Fauzan membandingkan Indonesia dengan AS dan Australia yang, menurut pengamatannya, cukup komprehensif dalam menyampaikan kebijakan pembelian alutsista.
Informasi perihal alutsista di kedua negara itu didesain tidak hanya untuk media lewat rilis pers, ungkap Fauzan, melainkan juga masyarakat umum.
"Kenapa kita, misalnya, membeli dari negara ini? Keuntungannya seperti apa? Apa yang akan kita lakukan dengan pesawat itu?" tuturnya.
"Adakah dokumen dan situs yang resmi sehingga publik bisa merujuk maupun mengaksesnya ke sana?" lanjutnya.
Selama ini, di Indonesia, kritik dan diskusi mengenai kebijakan pertahanan "baru ramai setelah ada skandal", pungkas Fauzan.
Artikel ini pernah tayang cdi BBC Indonesia dengan judul
Baca juga:
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita 优游国际.com WhatsApp Channel : . Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.