KOMPAS.com - Setiap kali kalender menampilkan tanggal 20 Mei, sebagian dari kita mungkin kembali bertanya: tanggal 20 Mei memperingati hari apa? Jawabannya adalah Hari Kebangkitan Nasional.
Hari Kebangkitan Nasional adalah momen bersejarah yang menandai titik balik kesadaran bangsa Indonesia menuju kemerdekaan.
Namun, mengapa tanggal 20 Mei diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional? Jawabannya bukan hanya soal tanggal atau nama organisasi.
Ia berakar dalam sejarah yang kaya, perjuangan yang panjang, dan semangat perubahan yang lahir dari kesadaran kaum muda akan pentingnya persatuan dan pendidikan. Berikut adalah penjelasannya!
Baca juga: 6 Contoh Pidato Hari Kebangkitan Nasional 2025 untuk Amanat Pembina Upacara Harkitnas ke-117
Untuk memahami apa yang menjadi latar belakang lahirnya Hari Kebangkitan Nasional, kita harus mundur ke akhir tahun 1907.
Saat itu, seorang tokoh pergerakan bernama dr. Wahidin Sudirohusodo mengunjungi pelajar-pelajar STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) di Batavia.
Menurut Sudiyo, dkk dalam buku Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia: Dari Budi Utomo sampai dengan Pengakuan Kedulatan (1997), dalam pertemuannya dengan R. Soetomo dan M. Soeradji, Wahidin menyampaikan gagasan besar tentang pentingnya dana pendidikan untuk mencerdaskan bangsa.
Gagasan itu disambut hangat oleh para pelajar, yang sejak lama telah merasakan tekanan penjajahan dan memiliki nasionalisme yang tumbuh dari buku-buku perjuangan bangsa lain.
R. Soetomo dan kawan-kawan merasa gagasan Wahidin selaras dengan semangat mereka. Seperti tumbu ketemu tutup, keduanya menyatu dalam tujuan yang sama: membangkitkan bangsa melalui ilmu dan kesadaran.
Baca juga: Hari Kebangkitan Nasional, Bangkitnya Nasionalisme
Akhirnya, pada tanggal 20 Mei 1908, lahirlah Budi Utomo, organisasi modern pertama di Indonesia.
Pertemuan awalnya berlangsung secara informal di Ruang Anatomi STOVIA, pada hari senggang saat tidak ada pelajaran. Nama “Budi Utomo” sendiri mencerminkan cita-cita luhur: kemuliaan budi pekerti, kecerdasan, dan kemajuan.
Menurut Sudiyo, dkk dalam buku Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia: Dari Budi Utomo sampai dengan Pengakuan Kedulatan (1997), berbeda dengan gerakan radikal, Budi Utomo mengusung filosofi "biar lambat asal selamat".
Mereka mencontoh filosofi pertumbuhan pohon beringin: tumbuh perlahan, tetapi kokoh dan menaungi banyak orang.
Ini kontras dengan semangat gerakan instan seperti pohon semangka atau kara, yang tumbuh cepat namun cepat pula mati.
Organisasi ini awalnya fokus di bidang sosial, budaya, dan pendidikan, tanpa menyentuh ranah politik.
Baca juga: Latar Belakang Berdirinya Budi Utomo beserta Tujuannya