Perang saudara tersebut imbas dari campur tangan Belanda dalam kehidupan politik kerajaan.
Dalam perang saudara di Kerajaan Banjar, terdapat tiga kelompok yang saling berebut kekuasaan.
Berikut tiga kelompok yang saling berebut kekuasaan di Kerajaan Banjar.
3 kelompok yang berebut kekuasan di Banjar
Tiga kelompok yang saling berebut kekuasaan di Kerajaan Banjarmasin adalah kelompok Pangeran Tamjidillah, kelompok Pangeran Prabu Anom, dan kelompok Pangeran Hidayatullah.
Sejak pertengahan abad ke-18, Kerajaan Banjar telah menjalin kerja sama dengan Belanda.
Dalam perkembangannya, Belanda mulai ikut campur urusan kerajaan dan merebut banyak wilayah dari Sultan Banjar.
Kegelisahan rakyat dan para bangsawan semakin besar ketika melihat campur tangan Belanda dalam pengangkatan pejabat-pejabat penting kerajaan, termasuk sultan.
Puncaknya pada pertengahan abad ke-19, ketika mangkubumi meninggal pada 1851.
Timbul perbedaan pendapat terkait penggantinya. Sultan Adam (1825-1857) yang berkuasa saat itu, menginginkan putranya yang keempat, Prabu Anom, sebagai pengganti.
Namun, Belanda tidak setuju dan justru mengangkat Pangeran Tamjidillah, putra dari kakak Prabu Anom, Raja Muda Abdurrakhman.
Pangeran Tamjidillah adalah putra Raja Muda Abdurrakhman dengan Nyai Aminah, yang bukan keturunan bangsawan.
Masalah kembali muncul ketika putra mahkota, yakni Raja Muda Abdurrakhman, meninggal pada 1852, yang disinyalir atas perbuatan Prabu Anom.
Sepeninggal Raja Muda Abdurrakhman, Sultan Adam ingin mengangkat Pangeran Hidayatullah sebagai putra mahkota.
Pangeran Hidayatullah adalah putra Raja Muda Abdurrakhman dan Ratu Siti.
Namun, keinginan Sultan Adam kembali ditentang Belanda, karena Pangeran Hidayatullah dinilai tidak cakap.
Sejatinya, penilaian itu dikarenakan Pangeran Hidayatullah tidak pernah bergaul atau menolong Belanda dalam perdagangan.
Belanda hanya menginginkan Pangeran Tamjidillah dinobatkan sebagai putra mahkota.
Berang dengan sikap Belanda, Sultan Adam diam-diam melantik Prabu Anom sebagai putra mahkota pada 1855.
Sultan Adam juga memecat Pangeran Tamjidillah dari jabatan mangkubumi dan membuat surat wasiat yang hanya boleh dibuka ketika ia meninggal.
Surat wasiat itu menetapkan Pangeran Hidayatullah sebagai penggantinya, sementara Prabu Anom dan Pangeran Tamjidillah bida diancam hukuman mati apabila menghalangi.
Perseteruan semakin sengit ketika Belanda mengangkat Pangeran Tamjidillah sebagai putra mahkota pada 1856.
Belanda memaksa Sultan Adam menyetujui hal itu dan melarang Prabu Anom meninggalkan Banjarmasin.
Sultan Adam terpaksa setuju, tetapi meminta agar Pangeran Hidayatullah diangkat sebagai mangkubumi.
Pada 1 November 1857, Sultan Adam meninggal dan dua hari kemudian Belanda secara sepihak menobatkan Pangeran Tamjidillah sebagai sultan yang baru.
Pengangkatan Pangeran Tamidillah mendapat kecaman dari kalangan bangsawan dan rakyat Banjar.
Terlepas dari latar belakangnya yang bukan keturunan bangsawan, Pangeran Tamjidillah sangat dibenci oleh rakyat karena ia memiliki kebiasaan mabuk dan menghina agama Islam.
Sedangkan kelompok yang disenangi rakyat dan dicalonkan menjadi sultan adalah Pangeran Hidayatullah.
Pangeran Hidayatullah dikenal oleh rakyat sebagai sosok yang baik, rendah hati, dan ramah.
Kemudian, menurut tradisi, hanya pangeran yang ibunya seorang keturunan bangsawan yang bisa menaiki takhta.
Selain itu, Pangeran Hidayatullah adalah orang yang berhak atas takhta berdasarkan wasiat ataupun perjanjian sultan terdahulu.
Keadaan di Kerajaan Banjar tidak dapat dikendalikan lagi ketika Prabu Anom dibuang oleh Belanda ke Jawa.
Situasi itulah yang mendorong Pangeran Hidayatullah bersatu dengan rakyat untuk memerangi Belanda dan memicu terjadi perang di Kesultanan Banjarmasin.
Referensi:
/stori/read/2022/10/15/150000179/3-kelompok-yang-saling-berebut-kekuasaan-di-kerajaan-banjar