Tak hanya itu, berbagai gugatan di pengadilan termasuk yang telah diputus di pengadilan Federal AS menunjukan konflik besar itu telah dimulai dan berada di titik kritis.
Washington Post menurunkan laporan “White House fires head of Copyright Office amid Library of Congress shakeup” (11/05/2025) yang menyebut Shira Perlmutter diberhentikan melalui email, selang dua hari setelah Presiden Donald Trump memecat Carla Hayden, atasan yang mengangkat Perlmutter pada Oktober 2020.
Bulan ini, kantor Perlmutter memang merilis laporan setebal lebih dari 100 halaman tentang penggunaan materi berhak cipta untuk melatih sistem AI.
Laporan US Copyright Office itu menyebut dalam beberapa tahap pengembangannya, AI generatif melibatkan penggunaan karya berhak cipta.
Pertanyaannya, apakah tindakan pelanggaran prima facie tersebut dapat diklasifikasikan sebagai penggunaan wajar (fair use)?
Washington Post juga menyebut di bawah pemerintahan Trump, Elon Musk bertugas mengurangi pengeluaran Federal dan tenaga kerja dengan menggunakan AI. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong perubahan pemerintahan secara besar-besaran.
Department of Government Efficiency (DOGE) berupaya menggabungkan data federal ke dalam satu basis data yang dapat ditelusuri. Perangkat AI digunakan untuk mempercepat proses identifikasi program yang akan dipangkas itu.
Dilansir The Guardian, "Trump reportedly fires head of US copyright office after release of AI report" (12/05/2025), pemecatan Shira Perlmutter dan atasannya memunculkan dugaan bahwa pemerintahan Trump tengah melakukan pembersihan terhadap institusi yang tidak sejalan, termasuk isu kekayaan intelektual dan regulasi teknologi AI.
Sebelumnya, dua tokoh teknologi, Elon Musk dan Jack Dorsey, secara terbuka mendukung penghapusan undang-undang kekayaan intelektual yang dinilai menghambat inovasi.
Pernyataan ini juga perlu ditelaah lebih lanjut. Bagaimana mungkin para tokoh big tech ingin menghapus semua regulasi kekayaan intelektual, padahal mereka sangat berkepentingan atas aplikasi, paten, rahasia dagang yang dimilikinya untuk dilindungi dari persaingan curang.
Regulasi kekayaan intelektual
Sebenarnya jika dikaji secara obyektif, dengan tanpa meniadakan peran bentuk kekayaan intelektual lainnya, jika ada bidang kekayaan intelektual yang paling banyak beririsan dengan teknologi AI, maka itulah hak cipta.
AI menggunakan amunisi, bahan bakarnya berupa data yang kerap berhak cipta.
Laporan penelitian MIT Technology Review “This is Where The Data to Build AI Come from” menyatakan AI sangat bergantung pada data.
Laporan riset itu menyimpulkan, tumpukan besar data diperlukan untuk melatih algoritma agar bisa melakukan apa yang diinginkan. Apa yang dimasukan dan diintegrasikan ke dalam model AI akan menentukan apa yang dihasilkannya.
Laporan yang ditulis Melissa Heikkilä & Stephanie Arnett pada 18 Desember 2024 itu, cukup mencengangkan. Mereka menyatakan bahwa yang menjadi masalah adalah, para pengembang dan peneliti AI sebenarnya tidak terlalu tahu dari mana asal data yang mereka gunakan.
Para peneliti menyebut praktik pengumpulan data AI masih belum matang, jika dibandingkan dengan kemajuan dalam pengembangan model AI itu sendiri. Dataset berskala besar sering kali tidak memiliki informasi yang jelas mengenai isinya dan dari mana data itu berasal.
Data Provenance Initiative, kelompok yang berisi lebih dari 50 peneliti dari kalangan akademisi dan industri, berusaha memperbaiki hal ini. Mereka ingin mengetahui secara sederhana dari mana asal data yang digunakan untuk membangun AI.
Para pelaku inisiatif ini mengaudit hampir 4.000 dataset publik yang mencakup lebih dari 600 bahasa, dari 67 negara dalam tiga dekade waktu. Data tersebut berasal dari 800 sumber unik dan hampir 700 organisasi.
Nah, temuan mereka itu yang dibagikan secara eksklusif kepada MIT Technology Review.
Irisan dan koneksitas ini tak ayal membuat para tokoh inovasi AI merasa terhalangi inovasinya oleh sistem regulasi kekayaan intelektual seperti saat ini.
Fakta ini perlu segera dicarikan jalan keluar. Jika persoalan ini tak segera diatasi setidaknya akan ada dua kemungkinan yang bisa terjadi.
Pertama, para pengembang AI akan terus melakukan inovasi tanpa memperhatikan protes para pendukung hak cipta. Hal ini akan berakhir pada gugatan di pengadilan seperti yang saat ini banyak terjadi.
Kedua, para pengembang AI harus mengerem atau menghentikan inovasi karena tak ingin berurusan dengan masalah hukum. Hal ini tentu akan sangat merugikan perkembangan teknologi dan manfaatnya untuk manusia.
Kolaborasi
Seperti telah diutarakan, AI generatif hanya bisa eksis dan berkembang jika didukung data dalam jumlah besar sebagai bahan pelatihannya. Sebagian besar data tersebut berasal dari karya manusia yang sudah ada.
Saat para kreator hak cipta mempermasalahkan konten berhak cipta yang tersedot ke dalam data pelatihan AI, maka di sinilah konflik antara inovasi dan perlindungan hak cipta dimulai.
Dunia saat ini tengah mencari keseimbangan. Bagaimana inovasi teknologi AI dapat terus dikembangkan, tapi di sisi lain para kreator dan pemegang hak cipta tetap dilindungi dan dihargai karyanya.
Fenomena AI dapat menghasilkan teks, gambar, musik, dan karya lain yang menyerupai hasil kreatif manusia, yang seringkali mirip dengan gaya dan karakter pencipta tertentu. Hal itu kerap disebut melanggar hak cipta dan eksploitasi karya tanpa izin.
Pandangan yang menempatkan AI sebagai ancaman terhadap hak cipta secara sempit, berpotensi tak hanya menghambat perkembangan teknologi itu sendiri, tetapi juga merugikan proses kreatif para seniman, di saat teknologi AI dan digital seharusnya mendukung berbagai kemudahan itu.
Memosisikan AI sebagai rival rezim hak cipta, dalam titik tertentu akan merugikan proses inovasi dan kreativitas manusia, termasuk para kreator itu sendiri. Hal ini juga akan menghambat penggunaan AI untuk layanan publik yang lebih efisien.
Dengan memanfaatkan AI, para kreator juga bisa menghasilkan berbagai obyek hak cipta baru yang berbeda dengan sebelumnya.
Hal ini penting untuk mendekati selera pengguna dan untuk menarik minat dan menyesuaikan dengan tren generasi digital agar karyanya tak terasa usang.
Oleh karena itu, pendekatan kolaboratif antara teknologi dan perlindungan hak cipta harus diciptakan, dibangun, dan diimplementasikan dalam ekosistem mutualistik.
AI pada prinsipnya dapat berfungsi sebagai alat bantu kreatif dan memperluas horizon dan kapasitas pencipta.
AI juga bisa mempercepat proses produksi, aransemen musik, termasuk penelitian ilmiah. Pemanfaatan AI digital twin untuk membuat karya kompleks secara efisien sangat bermanfaat.
Dalam konteks ini, prinsip dan sistem hak cipta perlu menyesuaikan diri dengan realitas baru pascalahirnya AI Generatif.
Mendefinisikan ulang konsep orisinalitas, fair use, lisensi, hak moral, dan hak ekonomi menjadi kebutuhan.
Di sinilah pentingnya kejelasan bagaimana AI dilatih dan data digunakan. Juga bagaimana pemilik karya cipta mendapat pengakuan dan kompensasi yang adil.
Kita memerlukan regulasi adaptif-transformatif untuk mendorong kolaborasi dan mengikis rivalitas yang berdampak kontraproduktif.
Kita perlu membangun regulasi sistem lisensi digital yang adil dan transparan, terkait dataset pelatihan AI dengan kompensasi yang proporsional.
Dengan cara ini, pengembang dan pengguna AI tidak hanya menjadi konsumen pasif dari kreativitas manusia yang terus berpotensi berkasus secara hukum.
Di sisi lain, pengembang AI wajib menerapkan transparansi sumber data, termasuk menjelaskan data apa saja yang mungkin tak terdeteksi.
Skema profit-sharing Industri AI untuk mendukung industri kreatif secara proporsional menjadi jalan tengah yang baik.
Kita bisa belajar dari sejarah, di mana model safe harbor diterapkan di era awal internet. Undang-undang seperti DMCA di AS melindungi platform digital tanpa mengabaikan hak kreator.
DMCA Safe Harbor di Amerika Serikat menjadi tonggak penting bagi pertumbuhan industri digital.
Ketentuan ini memberikan pelindung hukum kepada platform digital dari gugatan pelanggaran hak cipta, selama mereka menjalankan kebijakan takedown dan melindungi hak-hak kreator.
Dampaknya, internet berkembang pesat tanpa harus membuat para startup bergelut dengan gugatan hukum.
Platform digital bisa terus berkembang di bawah zona hukum yang aman, tapi terkontrol. Paltform digital baik streaming maupun platform penyedia User Generated Content (UGC) seperti YouTube, yang justru dimanfaatkan oleh para kreator karya cipta untuk publikasi dan komersialisasi obyek hak cipta miliknya.
Dunia kini memerlukan kerangka dan prinsip hukum baru untuk menjawab tantangan revolusi AI dan transformasi digital.
Kita harus mendorong kolaborasi dan bukan rivalitas untuk memenangkan yang satu dan menghilangkan yang lain.
Rivalitas antara teknologi AI dan hak cipta jangan berujung pada dominasi salah satu dari keduanya.
Teknologi tanpa etika dan penghargaan atas kekayaan intelektual akan melahirkan ketimpangan dan persiangan tak sehat.
Sedangkan, menegakkan hak ekslusif kekayaan intelektual secara absolut tanpa membuka ruang inovasi teknologi AI akan berdampak merugikan manusia.
/tren/read/2025/05/19/090000765/ai-dan-kekayaan-intelektual-rivalitas-atau-kolaborasi