MEDIA sosial yang dulunya dielu-elukan sebagai instrumen demokratisasi informasi, katalis kolaborasi, dan penggerak perubahan sosial, kini menjelma menjadi medan yang tak terkendali.
Di balik wajahnya yang cerah dan penuh interaksi, tersembunyi sisi gelap yang semakin merajalela: eksploitasi, kriminalitas tersembunyi, dan krisis moral yang menggerogoti fondasi sosial kita.
Kita harus berkata jujur soal kriminalitas di Indonesia sudah semakin ‘akut’, semakin kronis. Di beberapa aplikasi media sosial tersembunyi banyak sekali penyimpangan yang tidak pernah dikontrol oleh pemerintah.
Di Tiktok, misalnya, promosi judi online begitu liar dan akut bersembunyi di balik pemberian gift. Lalu, aktivitas seksual yang ditonton oleh puluhan ribu orang yang tidak hanya melibatkan orang dewasa, termasuk anak di bawah umur.
Hingga aktivitas usaha yang tidak memiliki kejelasan status yang begitu kental dengan indikasi pencucian uang.
Baca juga: Kisah Matahari Kembar
Media sosial kini bukan hanya tempat berbagi kabar, cerita, atau gagasan. Ia juga telah menjadi ruang subversif bagi kejahatan tersembunyi (hidden crime).
Grup-grup tertutup di Facebook, Telegram, Tiktok, dan berbagai aplikasi pesan instan lainnya telah menjadi sarang bagi pelaku kejahatan siber.
Terbaru, dunia maya dikejutkan dengan grup Facebook bernama “Fantasi Sedarah”. Dalam grup tersebut terpampang beragam unggahan pesan anggota grup yang mengarah ke tindakan kejahatan seksual/asusila, yaitu ketertarikan seksual dengan anggota keluarganya.
Dalam grup tersebut tercantum sejumlah unggahan yang sangat tidak pantas. Beberapa unggahan itu disertai foto korban.
Tidak hanya itu, unggahan tak senonoh lainnya juga terpampang dalam akun yang memiliki anggota mencapai 32.000 akun.
Jika kita analisis secara sederhana, maka timbul beberapa hipotesis. Pertama, grup Facebook predator fantasi sedarah ini bisa bertahan, bahkan hingga memiliki 32.000 anggota karena lemahnya pengawasan pemerintah terhadap platform digital.
Kedua, kita baru bicara satu grup di Facebook yang ditemukan, belum berbicara grup-grup tersembunyi lainnya. Artinya, ada persoalan serius dalam literasi digital dan krisis moral masyarakat kita.
Dalam pengamatan saya, fase pasca-Pandemi COVID-19 yang telah berlalu, rasanya terdapat kecurigaan terhadap banyak hal.
Kriminalitas siber maupun di dunia nyata meningkat secara eksponensial sejak berlangsungnya pandemi COVID-19, bukan sekadar respons subjektif, melainkan refleksi dari kemiskinan struktural yang kian akut, lonjakan PHK yang tak terbendung, dan kehancuran ekosistem pendukung kesejahteraan sosial yang belum sepenuhnya pulih.
Dalam konteks ini, kriminalitas berkembang bukan hanya sebagai bentuk survival, melainkan sebagai bentuk “pelampiasan”.