Artinya, persoalan-persoalan sistemik yang terjadi akibat kesalahan pembuat kebijakan, akhirnya berdampak pada persoalan di ranah privat/rumah tangga.
Ketika negara belum maksimal memberikan kesejahteraan, akhirnya membuat masyarakat tidak lagi berpikir secara jernih dan sehat, yang ujungnya muncul embrio-embrio kriminalitas seperti grup Facebook predator fantasi sedarah ini.
Baca juga:
Sebagaimana yang pernah dijelaskan oleh Paisol Burlian dalam buku berjudul “Patologi Sosial” (2015), dalam kehidupan masyarakat, perubahan sosial kadang-kadang dapat menimbulkan ketidakseimbangan (disequilibrium).
Ketidakseimbangan tersebut dapat disebabkan adanya kesenjangan budaya dalam masyarakat (disintegrasi sosial).
Adapun gejala yang menyebabkan terjadinya disintegrasi sosial adalah norma-norma masyarakat tidak berfungsi dengan baik sebagai alat untuk mencapai tujuan masyarakat, timbul pertentangan norma-norma dalam masyarakat sehingga menimbulkan kebingungan bagi anggota masyarakat itu sendiri.
Selain itu, tidak ada sanksi yang tepat bagi pelanggar norma, tindakan dalam masyarakat sudah tidak sesuai dengan norma masyarakat, serta interaksi sosial yang terjadi ditandai dengan proses yang bersifat disosiatif.
Dari pernyataan di atas, saya ingin menjelaskan bahwa dari sisi institusional, pemerintah tampak tertinggal dari masifnya pergerakan kelompok predator kejahatan seksual.
Deteksi terhadap Grup “Fantasi Sedarah” terjadi setelah kasus ini viral dan dilaporkan secara massal oleh masyarakat sipil. Artinya, penanganan baru dilakukan secara reaktif, bukan preventif.
Memang, Meta secara cepat bertindak setelah laporan dari Komdigi untuk menutup sejumlah grup Facebook yang menyebarkan konten inses.
Namun, penghentian ini seharusnya bukan tindakan seremonial yang berulang karena tekanan publik. Penutupan grup-grup predator di platfrom media sosial ini harus disertai komitmen bersama untuk memperkuat “preventive detection mechanism.”
Merujuk pada data Harian 优游国际 (16/5/2025), tren kekerasan berbasis gender terhadap perempuan selama periode 2020 hingga 2024, menunjukkan grafik yang terus meningkat, meskipun ada sedikit fluktuasi.
Pada 2020, tercatat 226.062 kasus, naik menjadi 338.496 kasus pada 2021, kemudian mencapai 339.782 kasus di 2022.
Tahun 2023 memang menunjukkan sedikit penurunan menjadi 289.111 kasus, tetapi kembali melonjak ke angka 330.097 pada 2024. Statistik ini belum mencakup kekerasan terhadap anak perempuan secara spesifik.
Selain itu, laporan Komnas Perempuan tahun 2019 menguak fakta lebih tragis: dari 2.341 kasus kekerasan terhadap anak perempuan yang tercatat, 770 di antaranya adalah kasus inses.
Baca juga:
Ini menjadikan inses sebagai kategori kekerasan tertinggi, melampaui kekerasan seksual lainnya (571 kasus) dan kekerasan fisik (536 kasus).