LABUAN BAJO, KOMPAS.com - Sejumlah pemilik lahan menutup akses masuk ke Embung Anak Munting di Kenari, Desa Warloka, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Pintu masuk embung yang dijadikan spot wisata itu dipagar dengan kayu, kawat duri dan sebuah papan triplek berukuran 2×1 meter bertuliskan, "dilarang masuk dan mancing di area embung".
Di bagian bawah papan itu tercantum tulisan "pemilik lahan".
Dibangun tahun 2022 dengan anggaran bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) Rp 29,65 miliar, embung ini dikerjakan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), melalui PT Brantas Abipraya sebagai kontraktor pelaksana.
Embung Anak Munting menempati lahan seluas 15,052 hektar, dan dirancang dengan kapasitas debit air hingga 150.000 meter kubik dan luas genangan 4,50 hektar.
Baca juga: LMAN Buka Suara Soal Ganti Rugi Tanah Mat Solar buat Tol Serpong-Cinere
Dibangun sebagai salah satu bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) untuk mendukung Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP) Labuan Bajo.
Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) meresmikan embung ini ditandai penanaman pohon bersama masyarakat dan pelajar pada 5 Desember 2024 lalu.
Pada pelaksanaan pekerjaannya, proyek embung ini mengubah fungsi lahan ternak milik warga untuk kepentingan umum.
Kendati sudah diresmikan, hingga kini proyek strategis nasional peninggalan Jokowi itu menyisakan masalah yakni ganti rugi lahan warga belum dibayar.
Haji Abbas (51), salah satu pemilik tanah, mengatakan, pemerintah melalui kontraktor pelaksana proyek tersebut belum memproses atau membayar uang ganti rugi lahan.
"Sebagai salah satu pemilik lahan menyatakan apabila BWS (Balai Wilayah Sungai) Nusa Tenggara Timur tidak berproses dan tidak membayar lokasi kami, maka lokasi ini secara resmi kami ambil kembali," kata Abbas kepada sejumlah wartawan di Labuan Bajo, Rabu (14/5/2025).
Abbas mengeklaim, sebelum dijual untuk pembangunan embung, lahan tersebut merupakan tempat kandang sapi dan kerbau miliknya.
Karena proyek milik pemerintah dan untuk kepentingan umum, ia pun rela menjual lahannya.
Abbas juga mempertanyakan alasan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Manggarai Barat yang hingga kini belum mengeluarkan peta bidang untuk lokasi tersebut.
Padahal, BPN sudah melakukan pengukuran tiga kali, dan terakhir melibatkan tim dari Kupang dibantu Basarnas untuk pengukuran di dalam air.