KOMPAS.com - Kasus temuan kerangkeng manusia di kediaman Bupati nonaktif Langkat, Terbit Rencana Perangin-angin, menghebohkan publik.
Temuan tersebut terkuak usai Terbit terjaring operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 19 Januari 2022, disusul dengan pengaduan dari Migrant Care atas dugaan perbudakan modern di kerangkeng tersebut.
Hingga kini, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Sumatera Utara masih terus mengumpulkan bukti dan saksi.
Terbaru, sebanyak delapan orang ditetapkan sebagai tersangka dan dikenai pasal Tindak Pidana Perdagangan Orang serta Pasal 351 KUHP ayat (3) tentang penganiayaan yang menyebabkan kematian.
Kedelapan orang tersebut termasuk anak Bupati Langkat berinisial DP, dan tujuh orang lain berinisial HS, IS, TS, RG, JS, HG, dan SP.
Berikut beberapa temuan terkait kerangkeng manusia di kediaman Bupati nonaktif Langkat:
Korban dipaksa minum air seni
Diberitakan 优游国际.com (10/3/2022), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mendapati adanya tindakan merendahkan martabat manusia dalam kasus kerangkeng ini.
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi menyampaikan beberapa temuan terbaru seperti adanya tindakan menggunduli dan menelanjangi penghuni kerangkeng.
Tak hanya itu, para penghuni juga dipaksa minum air seni sendiri serta mengunyah cabai sebanyak setengah kilogram lalu dilumurkan ke wajah serta kelamin.
Bahkan kata Edwin, ada tindakan yang tak bisa disampaikan di depan umum.
“Ini bahkan sampai saya tak kuasa menyebutnya. Baru saat ini, selama 20 tahun saya menangani korban, kasus ini yang paling kejam yang saya temui,” ujarnya.
Eksploitasi tenaga kerja
Edwin mengungkapkan, para korban dieksploitasi untuk bekerja sebagai buruh pabrik dan penyedia pakan ternak milik Terbit.
Namun, tidak seperti buruh lain yang menggunakan sepatu, seragam, dan helm, penghuni kerangkeng hanya menggunakan celana pendek, tak beralas kaki, tidak menggunakan helm, dan botak.
Dugaan perdagangan orang
Ketua LPSK Hasto Atmojo mengatakan, ada dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang terjadi dalam kasus ini.
Dugaan TPPO itu ada kaitannya dengan pemanfaatan tenaga para penghuni kerangkeng secara paksa seperti yang disampaikan oleh Edwin.
Hasto melanjutkan, ada pula dugaan menghilangkan kemerdekaan orang secara tidak sah dan lokasi rehabilitasi ilegal yang sama sekali tidak memenuhi standar.
Keluarga tidak boleh menjenguk
Temuan LPSK pada akhir Januari 2022, keluarga penghuni kerangkeng dilarang menjenguk selama 3-6 bulan dan tidak boleh menuntut jika penghuni sakit atau meninggal dunia.
Informasi tersebut, disampaikan oleh Edwin, tertulis dalam surat penyerahan atau surat pernyataan yang ditemukan pihaknya.
Surat pernyataan itu juga yang membuat keluarga tidak bisa mengetahui apa yang terjadi pada para korban selama “dibina” dalam kerangkeng.
“Temuan yang lebih luar biasa adalah, apabila ada hal-hal yang terjadi terhadap yang diserahkan selama pembinaan, seperti sakit atau meninggal dunia, maka pihak keluarga tidak akan menuntut kepada pihak pembina dari segi apa pun," kata Edwin, dikutip dari 优游国际.com (31/2/2022).
Diduga 19 Orang Terlibat, Termasuk Anggota TNI-Polri
Dugaan Komnas HAM, ada 19 pelaku tindakan kekerasan di kerangkeng manusia yang terdiri dari anggota TNI-Polri, organisasi massa, serta anggota keluarga Terbit.
Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengungkapkan, para pelaku biasanya berperan sebagai pengurus kerangkeng manusia.
“Mulai dari pembina, kalapas, pengawas, palkam, besker atau penghuni lama yang juga dilibatkan untuk melakukan tindakan yang sama sebagai alat kontrol,” katanya, dikutip dari 优游国际.com (3/3/2022).
Namun, hingga kini polisi baru menetapkan delapan orang sebagai tersangka dalam kasus kerangkeng manusia ini.
(Sumber: 优游国际.com/Ardito Ramadhan, Dewantoro | Editor: Diamanty Meiliana, David Oliver Purba, Abba Gabrillin)
/tren/read/2022/03/26/161500765/temuan-baru-soal-kerangkeng-manusia-bupati-nonaktif-langkat-8-orang