Kompetisi debat yang mereka jalani berdua memberi mereka bekal keterampilan yang relevan dalam kehidupan akademik maupun sosial.
Mereka belajar menggunakan bahasa Inggris secara aktif, menerapkan pemikiran kritis dan analisis isu global, mengasah kemampuan berbicara di depan umum dan presentasi, manajemen waktu, kerja tim, riset, serta penulisan akademik.
Dalam ekosistem debat yang penuh tekanan dan adu gagasan, Ava dan Sean justru menjalaninya dengan hati yang tertambat pada kerendahan hati.
Bagi mereka, kemenangan sejati tak hanya terpahat pada piala penghargaan tetapi juga dalam proses pertumbuhan pribadi yang mendalam.
Kompetisi bukan semata tentang menjadi yang terbaik, tetapi tentang menjadi pribadi yang terus belajar, terbuka, dan setia terhadap nilai-nilai yang baik.
Kompetisi debat yang telah dilalui Ava membuatnya sadar bahwa kerendahan hati harus dipertahankan ketika menghadapi berbagai tantangan. Ia juga merasa lebih siap beradaptasi dan terbuka terhadap berbagai sudut pandang, meski itu berarti tidak semua berjalan sesuai yang diharapkannya.
“Debat telah membentuk saya menjadi pribadi yang lebih optimis, mampu beradaptasi, dan terbuka terhadap berbagai sudut pandang, bahkan ketika situasi tidak berjalan sesuai harapan. Saya belajar bahwa kerendahan hati bukan berarti meragukan diri, tetapi justru menjadi kunci untuk terus berkembang dan menerima masukan,” kata Ava.
Selain karakter rendah hati, Ava juga menekankan perlunya menjaga integritas dan tetap setiap pada prinsipnya meskipun berada di lingkungan yang menekan.
Tekanan dalam lomba memang sangat biasa terjadi, tapi menurut Ava, daripada mengalihkan perhatiannya pada hal yang tidak perlu, lebih baik fokus pada persiapan dan kerja sama dalam tim yang telah dibentuk.
“Dengan mengalihkan fokus dari membandingkan diri dengan orang lain ke persiapan dan kerja sama dalam tim, saya mampu tampil lebih baik dan menemukan kepercayaan diri yang lebih autentik,” lanjutnya.
Baca juga: Beasiswa S2 Oxford University Tanpa Batas Usia, Ada Biaya Hidup Rp 398 Juta
Sementara itu, Sean memandang debat sebagai wadah penting yang telah membantu membentuknya tidak hanya sebagai pelajar, tetapi juga sebagai pribadi yang teguh, reflektif, dan berprinsip.
Ia mengakui bahwa tekanan dalam kompetisi debat sangat besar, tetapi justru di situlah ia belajar untuk mengandalkan kerja keras dan keyakinan pada Tuhan yang menuntun langkahnya.
“Di tengah tekanan kompetisi yang intens, saya belajar untuk tetap tenang dengan mengandalkan kerja keras dan iman saya kepada Tuhan. Komitmen jangka panjang menjadi kunci, karena debat menuntut latihan dan konsistensi yang tidak bisa dicapai secara instan,” jelas Sean.
Dari kompetisi debat, Sean mengembangkan kemampuan komunikasi yang tidak hanya efektif, tapi juga empatik. Ia belajar untuk mendengarkan, memahami pandangan yang berbeda, dan menyampaikan ide dengan cara yang membangun.
Pengalaman ini juga membawanya pada pemahaman yang lebih luas terhadap isu-isu global.
Bagi Sean, menjadi ruang latihan bukan hanya untuk logika, tetapi juga kerendahan hati, kesabaran, dan kesetiaan pada prinsip Kristiani, terutama ketika ia harus berhadapan dengan pandangan yang bertentangan.
Baca juga: SPMB 2025, Tes Calistung Tak Jadi Syarat Masuk Kelas 1 SD
Melalui proses yang panjang, ia menyadari bahwa kekuatan sejati bukan berasal dari kemampuan meyakinkan orang lain, melainkan dari ketulusan hati dalam memperjuangkan kebenaran.
“Di atas segalanya, nilai-nilai Kristiani yang diajarkan Sekolah Pelita Harapan menuntun saya untuk bersikap penuh kasih dan berintegritas, bahkan saat berhadapan dengan perbedaan, menjadikan debat bukan hanya ajang adu argumen, tetapi juga ruang untuk memperjuangkan kebenaran dengan hati yang tulus,” pungkas Sean.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita 优游国际.com WhatsApp Channel : . Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.