Para pelaku inisiatif ini mengaudit hampir 4.000 dataset publik yang mencakup lebih dari 600 bahasa, dari 67 negara dalam tiga dekade waktu. Data tersebut berasal dari 800 sumber unik dan hampir 700 organisasi.
Nah, temuan mereka itu yang dibagikan secara eksklusif kepada MIT Technology Review.
Irisan dan koneksitas ini tak ayal membuat para tokoh inovasi AI merasa terhalangi inovasinya oleh sistem regulasi kekayaan intelektual seperti saat ini.
Fakta ini perlu segera dicarikan jalan keluar. Jika persoalan ini tak segera diatasi setidaknya akan ada dua kemungkinan yang bisa terjadi.
Pertama, para pengembang AI akan terus melakukan inovasi tanpa memperhatikan protes para pendukung hak cipta. Hal ini akan berakhir pada gugatan di pengadilan seperti yang saat ini banyak terjadi.
Kedua, para pengembang AI harus mengerem atau menghentikan inovasi karena tak ingin berurusan dengan masalah hukum. Hal ini tentu akan sangat merugikan perkembangan teknologi dan manfaatnya untuk manusia.
Seperti telah diutarakan, AI generatif hanya bisa eksis dan berkembang jika didukung data dalam jumlah besar sebagai bahan pelatihannya. Sebagian besar data tersebut berasal dari karya manusia yang sudah ada.
Saat para kreator hak cipta mempermasalahkan konten berhak cipta yang tersedot ke dalam data pelatihan AI, maka di sinilah konflik antara inovasi dan perlindungan hak cipta dimulai.
Dunia saat ini tengah mencari keseimbangan. Bagaimana inovasi teknologi AI dapat terus dikembangkan, tapi di sisi lain para kreator dan pemegang hak cipta tetap dilindungi dan dihargai karyanya.
Baca juga: Hak Cipta Vs AI Generatif
Fenomena AI dapat menghasilkan teks, gambar, musik, dan karya lain yang menyerupai hasil kreatif manusia, yang seringkali mirip dengan gaya dan karakter pencipta tertentu. Hal itu kerap disebut melanggar hak cipta dan eksploitasi karya tanpa izin.
Pandangan yang menempatkan AI sebagai ancaman terhadap hak cipta secara sempit, berpotensi tak hanya menghambat perkembangan teknologi itu sendiri, tetapi juga merugikan proses kreatif para seniman, di saat teknologi AI dan digital seharusnya mendukung berbagai kemudahan itu.
Memosisikan AI sebagai rival rezim hak cipta, dalam titik tertentu akan merugikan proses inovasi dan kreativitas manusia, termasuk para kreator itu sendiri. Hal ini juga akan menghambat penggunaan AI untuk layanan publik yang lebih efisien.
Dengan memanfaatkan AI, para kreator juga bisa menghasilkan berbagai obyek hak cipta baru yang berbeda dengan sebelumnya.
Hal ini penting untuk mendekati selera pengguna dan untuk menarik minat dan menyesuaikan dengan tren generasi digital agar karyanya tak terasa usang.
Oleh karena itu, pendekatan kolaboratif antara teknologi dan perlindungan hak cipta harus diciptakan, dibangun, dan diimplementasikan dalam ekosistem mutualistik.
AI pada prinsipnya dapat berfungsi sebagai alat bantu kreatif dan memperluas horizon dan kapasitas pencipta.
AI juga bisa mempercepat proses produksi, aransemen musik, termasuk penelitian ilmiah. Pemanfaatan AI digital twin untuk membuat karya kompleks secara efisien sangat bermanfaat.
Dalam konteks ini, prinsip dan sistem hak cipta perlu menyesuaikan diri dengan realitas baru pascalahirnya AI Generatif.