KOMPAS.com - Kelompok Jamaah Islamiyah (JI) resmi membubarkan diri pada Minggu (30/6/2024).
Deklarasi pembubaran dan kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) itu dipimpin langsung oleh Abu Rusdan, orang yang pernah disebut pemimpin atau Amir JI, di Bogor, Jawa Barat.
Pernyataan pembubaran tersebut pun mengakhiri perjalanan panjang kelompok yang bertanggung jawab di balik berbagai aksi terorisme di Indonesia yang resmi berdiri pada 1993 ini.
Baca juga:
Jamaah Islamiyah atau JI semula didirikan dengan tujuan menegakkan negara Islam dengan konsentrasi gerakan di Indonesia.
Didirikan oleh Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir pada 1993, JI kemudian dinyatakan sebagai organisasi terlarang pada 21 April 2008.
Berikut lini masa pembentukan, perkembangan, hingga pembubaran Jamaah Islamiyah di Tanah Air:
Harian 优游国际, 3 November 2002 mencatat, Abu Bakar Baasyir yang merupakan lulusan Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, memulai kegiatan lewat wadah organisasi Al Irsyad.
Sementara itu, Abdullah Sungkar memulai melalui partai politik Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir, bersama ulama lain, Hasan Basri, kemudian mendirikan Stasiun Radio Dakwah Islamiah Surakarta (Radis) pada 1967.
Sekitar lima tahun setelah mendirikan Radis, Baasyir dan Sungkar mendirikan Pondok Pesantren (Ponpes) Al Mukmin di Ngruki, Sukoharjo, dekat Solo, Jawa Tengah.
Ponpes ini berdiri dengan nama Lembaga Pendidikan Pondok Pesantren Islam Al Mukmin di bawah naungan Yayasan Pendidikan Islam dan Asuhan Yatim Al Mukmin.
Dalam laporannya, lembaga studi International Crisis Group (ICG) menyatakan, Pesantren Ngruki berkaitan dengan jaringan teror Al Qaeda di Asia Tenggara.
Baca juga:
Berbeda dengan Baasyir yang lebih banyak membagikan ilmu keagamaan melalui Radis, dakwah Sungkar lebih sarat dengan muatan politis karena keterlibatannya dalam Masyumi.
Pada 1975, pemerintah Indonesia melarang radio itu mengudara lantaran siaran yang dinilai terlalu keras.
Atas ajakan Haji Ismail Pranoto atau Hispran, Sungkar dan Baasyir bergabung dengan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Jawa Tengah yang dihidupkan kembali pada 1976.
Pengangkatan sumpah dilakukan di rumah Sungkar di Sukoharjo, Jawa Tengah.
Sungkar ditangkap dan ditahan selama satu setengah bulan karena mengimbau para pengikutnya menjadi Golongan Putih (Golput) pada Pemilihan Umum (Pemilu) 1977.
Setahun kemudian, seperti dikutip Dari Radikalisme Menuju Terorisme (2012), Sungkar dan Baasyir kembali ditangkap dan ditahan di Pati, Jawa Tengah. Sungkar ditahan pada 10 November dan Baasyir pada 21 November.
Kali ini, penangkapan dikaitkan dengan kasus subversif karena menentang Asas Tunggal Pancasila selama era Presiden Soeharto.
Setelah empat tahun ditahan, Sungkar dan Baasyir diadili di Pengadilan Negeri Sukoharjo, dengan tuduhan melanggar Undang-Undang Nomor 11/PNPS/1963, yaitu menentang pemerintah dan ingin menggantikan dasar negara Pancasila dengan dasar Al Quran dan Sunnah.
Dalam pengadilan ini, untuk pertama kali muncul istilah Jamaah Islamiyah dan Komando Jihad dalam surat dakwaan jaksa.
Baasyir dan Sungkar membantah tuduhan dan keberadaan Jamaah Islamiyah. Namun, hakim menjatuhkan keduanya hukuman 9 tahun penjara, yang dikurangi masa tahanan pada akhir 1982.
Baca juga:
Pada tingkat banding, majelis hakim Pengadilan Tinggi Jawa Tengah memutus hukuman 4 tahun penjara potong masa tahanan, yang ditanggapi kejaksaan dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
Sambil menunggu putusan MA, Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir berdakwah kritis untuk menolak Pancasila.
Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir melarikan diri ke Malaysia setelah mendapat surat panggilan untuk mendengar putusan kasasi pada April 1985.
Beberapa orang ikut serta menyusul ke Malaysia, antara lain Sunarto, A Mubin Busthami, Fihiruddin Muqthie, dan Agung Riyadi.
Jamaah Islamiyah atau JI secara resmi didirikan pada 1 Januari 1993 oleh Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir saat bersembunyi di Malaysia.